Foto diatas saya ambil pada hari Sabtu tanggal 27
Juli 2019 di Sevensky Rooftop Lippo Plaza Yogyakarta, dalam acara Relaunching
Yamaha FreeGo yang menghadirkan band The Finest Tree.
Dalam sosiologi, apa
yang dimaksud sebagai realitas sosial adalah sesuatu yang dianggap nyata dalam
kehidupan sosial, dan merupakan hasil konstruksi sosial. Realitas atau
kenyataan sosial menurut W. I. Thomas adalah konsekuensi dari definisi kita
terhadap situasi. Artinya apa yang kita anggap nyata adalah produk dari
persepsi dan hasil interpretasi kita terhadap apa yang nyata.
Realitas sosial ini
juga memilki kaitan yang kuat dengan media massa. Sebagai sarana penyampai
informasi kepada masyarakat luas, media masa memiliki kekuatan dalam membentuk
realitas sosial di dalam masyarakat.
Menurut saya apa yang
digambarkan realitas media sama dengan realitas sosial diatas yang
sesungguhnya. Kenapa saya bisa bilang sama dengan realitas sosial karena,
Realitas sosial atau dalam Bahasa Inggris disebut ”social reality” adalah
kenyataan yang dikonstruksikan secara sosial. Dikonstruksikan secara sosial
maksudnya adalah muncul dari pikiran manusia dan berkembang menjadi kenyataan
melalui konsensus, interaksi, dan habituasi atau kebiasaan. Definisi tersebut
diturunkan dari ide dua pakar sosiologi Peter Berger dan Thomas Luckmann dalam
bukunya ”The Social Construction of Reality”.
Yang ingin saya bahas
disini adalah mengenai konsensus, interaksi, dan habituasi. Berger dan
Luckmann melihat ketiga proses ini penting untuk membentuk sesuatu menjadi ”nyata”,
”real”, ”fakta”, dimata masyarakat.
Berger dan Luckmann menyebut tiga tahap
bagaimana kenyataan dikonstruksikan secara sosial: eksternalisasi,
objektivikasi, internalisasi. Simplifikasi penjelasan ketiganya sebagai
berikut:
- Eksternalisasi
Merupakan proses
ide-ide yang muncul dari alam pikiran manusia menjadi sesuatu yang eksis di
luar diri individu.
- Objektifikasi
Merupakan proses
ide-ide tersebut menjadi objek dan mulai dipersepsikan sebagai kenyataan.
Objektifikasi melibatkan konsensus, interaksi, dan habituasi. Ide-ide tersebut
disepakati, berlangsung melalui proses interaksi sosial, dan dilakukan secara
berulang-ulang.
Sebagai contoh adalah
saat kita menonton konser The Finest Tree dan berdiri bersama-sama orang lain
atau penggemar dari The Finest Tree lalu melihat Cakka Nuraga vokalis band The
Finest Tree banyak yang menganggap bahwa dia tampan, suaranya bagus, pintar
main musik dan kita berbicara dengan orang lain yang menyetujui pernyataan dan
mengakui kelebihan Cakka tersebut dan melakukan proses interaksi sosial, hal
tersebut sudah merupakan bagian dari konstruksi sosial dimana membangun
pernyataan dan kenyataan tersebut menjadi realitas sosial.
Apalagi jika konstruksi
sosial tersebut dibangun dalam media massa, yang kita tahu bahwa ada tahapan-tahapan
dalam membangun konstruksi tersebut, seperti:
Ø
Persiapan Materi
Konstruksi
Tahapan ini menjadi tugas dari redaksi suatu media masa. Tahap ini merupakan tahap yang membawa tujuan pihak media dalam mengkonstruksi sebuah realitas sosial. Bisa jadi sebuah media memang memberitakan untuk dipublikasikan demi meraih keuntungan atau memang menjadi kepentingan umum.
Ø
Penyebaran
Konstruksi Sosial
Penyebaran konstruksi sosial dilakukan dengan strategi media massa. Saya mendapati iklan pada suatu akun di instagram mengenai event yang akan mengundang The Finest Tree sebagai guest star, tentunya instagram merupakan media massa modern. Lalu saya bandingkan antara konstruksi sosial yang dibilang sebelumnya bahwa Cakka Nuraga tampan, bersuara merdu, pintar bermain musik memang benar adanya dan sesuai dengan realitas media yang dibangun media. Atau tidak saat kita browsing dan menemukan artikel dengan komentar yang menyatakan bahwa dia memang jago main musik, bersuara merdu, dll merupakan konstruksi media dalam membangun persepsi atas Cakka Nuraga.
Ø
Pembentukan
Konstruksi Realitas
Dalam pembentukan konstruksi realitas ini, ada satu tahap yaitu sebagai pilihan konsumtif. Disini masyarakat telah bergantung pada kehadiran media massa, sehingga disebut sebagai pola konsumtif. Sebagai contoh misalnya penggemar The Finest Tree akan mendengarkan lagu band tersebut setiap hari sebagai lagu penyemangat. Hal tersebut merupakan tindakan konsumtif yang dilahirkan dari kebiasaan (habitual) konstruksi sosial sebelumnya jika memang lagu yang dinyanyikan Cakka di band The Finest Tree memang bagus.
Ø
Konfirmasi
Konstruksi Sosial
Ini adalah tahapan pemilihan media dan masyarakat dalam pembentukan realitas sosial.
- Internalisasi
Merupakan proses dimana kenyataan
objektif atau sesuatu yang sudah mengalami objektifikasi, diserap masuk ke
dalam diri manusia sebagai sebuah pengetahuan. Pada tahap ini, individu atau
aktor melihat realitas sebagai kenyataan objektif, padahal sejatinya terbentuk
dari ide-ide yang subjektif.
2. Kesenian Kuda Lumping atau “Jathilan”
Foto
diatas saya ambil pada hari Minggu tanggal 6 Juni 2019 di Dusun Sabrang, Kulon
Progo
Sedikit berbeda dengan pembahasan
seperti yang disebutkan sebelumnya, realitas media juga bisa berbeda dengan
realitas sosial atau pada kenyataannya. Saya ambil contoh seperti kuda lumping
atau dalam bahasa jawa “Jathilan”. Saya sempat membaca di sebuah situs
website yang menyebutkan bahwa Tatkala mereka kerasukan, para penari Jathilan
mampu melakukan gerakan ataupun atraksi berbahaya yang tidak dapat dicerna oleh
akal manusia, seperti mengunyah beling bahkan hingga berperang lalu menyayat
lengan. Menurut saya pada realitanya tidak semua daerah melakukan atraksi
tersebut, di daerah Jogja sendiripun jarang saya temui, bahkan pemain yang
tidak bisa atau tidak mau kerasukan pun bisa keluar dari arena dengan kondisi
sehat.
Hal ini dapat disangkut pautkan dengan teori
dari James Carey mengenai konstruksi realitas sosial dalam media massa.
Ia menjelaskan 4 tahapan penting dalam pembentukan realitas sosial sebagai
berikut:
- Konstruksi
Jathilan tidak serta merta ada begitu saja, banyak
cerita dari mulut ke mulut yang biasa kita dengar dari orang-orang budaya
disekitar kita. Apalagi tak ada catatan sejarah secara tertulis yang bisa
menjelaskan pastinya bagaimana "Jathilan" ini terbentuk. Berawal dari
cerita dari mulut ke mulut itulah tercipta suatu konstruksi sosial yang
menyebutkan bagaimana terbentuknya "Jathilan". Mulai dari cerita
perjuangan Raden Patah dibantu Sunan Kalijaga dalam melawan penjajahan Belanda,
hingga kisah prajurit Mataram yang sedang mengadakan latihan perang (gladhen)
dibawah pimpinan Sultan Hamengku Buwono I. Semua hal tersebut merupakan
kesepakatan yang dihasilkan oleh orang-orang jaman dahulu hingga menghasilkan
sebuah konstruksi sosial dan dikenal oleh masyarakat luas.
Pemeliharaan mesti dilakukan
secara terus menerus agar konstruksi sosial tetap berjalan. Sebagai contoh dari
konstruksi sosial, Jathilan haruslah dilestarikan karena selain merupakan
sebuah budaya di masyarakat hal ini bisa jadi menjadi sumber bagi mereka yang
ingin meneliti mengenai kesenian "Jathilan" ini.
- Perbaikan
Manusia juga perlu melakukan
perbaikan akan konstruksi sosial. Perbaikan ini dapat dilakukan bila beberapa
aspek dalam konstruksi sosial tersebut mulai hilang atau dilupakan oleh
masyarakat. Selain berperan sebagai penyedia informasi, media juga harus
berperan sebagai wadah perbaikan. Tidak semua yang berada pada media massa
sekarang ini benar, karena mungkin adanya keterbatasan sumber oleh karena itu
media juga dituntut untuk menjadi realitas media yang memberikan informasi yang
benar untuk masyarakat tidak hanya melalui konstruksi sosial yang biasa-biasa
saja. Contoh menanyakan kepada orang yang lebih tahu menahu dengan sejarah dari
kesenian "Jathilan" daripada hanya bertanya kepada pawang atau pemain
Jathilannya sendiri.
- Perubahan
Perubahan akan konstruksi sosial
juga dimungkinkan untuk dilakukan seiring dengan perubahan zaman. Dengan
berkembangnya zaman, suatu konstruksi sosial bisa saja kehilangan makna dan
pendukungnya. Perubahan terhadap konstruksi sosial dilakukan agar menjadi
relevan dengan kehidupaan generasi berikutnya.
Sekarang ini bisa dibilang penikmat
Jathilan hanya itu-itu saja. Banyak generasi millenial yang tidak aware
terhadap kesenian tradisional yang satu ini. Padahal generasi millenial
mempunyai kekuatan media tersendiri. Misal jumlah pengikut di instagram yang
banyak bisa dijadikan sebagai sasaran dalam mempromosikan kesenian Jathilan
ini. Selain melestarikan kebudayaan ini hal ini juga bermanfaat agar tidak
kehilangan penikamt seni dan menjadi bukti sejarah bagi kehidupan generasi
berikutnya.
0 komentar:
Posting Komentar